Pemerintahan Dinasti Umayyah II di Andalusia

on Sabtu, 01 Desember 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Andalusia merupakan daerah yang ditaklukan bani Umayyah. Andalusia merupakan sebutan bagi semenanjung liberal pada periode islam. Sebutan itu berasal dari kat Vandalusia yang artinya Negeri bangsa Vandal. Atas penaklukan tersebut, sehingga terlepas dari tangan kaum muslimin tetapi hal ni tidaklah terjadi pada masa pemerintahan Bani Umyyah itu. Yang bertanggung jawab atas hilangnya daerah itu adalah mereka memegang pemerintahan berikutnya.
Para ahli sejarah terutama dari golngan kaum muslimin sendiri bersifat murah hati, cinta damai dan kelapangan dad yang dikenal pada pribadi pahlawan- pahlawan seumpama Muawiyyah, Abdul Malik Al- waliddan Umar bin Abdil Aziz. Usaha- usaha mereka dalam penyebaran Islam dilakukan dengan baik yaitu sebagai penakluk- penakluk.
Tiga orang pertama tersebut diatas telah berjasa untuk memancangkan bendera islam di berbagai daerah, sehingga ia berkibar dengan megahnya didaerah yang demkian luasnya yang menaungi jutaan ummat manusia.
Dalam masa lebih dari tujuh abad kekuasaan pada periode Islam klasik. Andalusia mencapai puncak keemasannya. Banyak prestasi yang mereka peroleh bahkan pegaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia kepada kemajuan yang lebih kompleks, Andalusia juga dikatakan mampu menyaingi Baghdad yang ada di timur. Banyak orang Eropa mendalami studi di Universitas-Universitas Islam disana. Ketika itu bisa dikatakan, Islam telah menjadi guru bagi orang Eropa. Selama delapan abad, Islam pernah berjaya di bumi Eropa (Andalusia) dan membangun peradaban yang gemilang. Namun peradaban yang di bangun dengan susah payah dan kerja keras kaum Muslimin itu, harus ditinggalkan dan dilepas begitu saja karena kelemahan-kelemahan yang terjadi di kalangan kaum Muslimin sendiri dan karena keberhasilan Bangsa Barat atau Eropa bangkit dari keterbelakangan. Kebangkitan yang meliputi hampir semua element peradaban, terutama di bidang politik yakni dengan dikalahkannya kerjaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya sampai kemajuan di bidang sains dan teknologi.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dibahas adalah terkait dari masa pemerintahan dinasti Umayah
1.      Apa saja kebijakan politik serta sistem sosial dan ekonomi pada masa dinasti Umayah ?
2.      Bagaimana perkembangan pemerintahan dinasti Umayah ?
3.      Bagaimana berdirinya serta kemunduran yang mengakibatkan kehancuran dinasti Umayah ?

C.     Tujuan Penulisan
Untuk menumbuh kembangkan kemampuan dalam meningkatkan pengetahuan mengenai pemerintahan dalam ajaran islam sehingga tertanam nilai-nilai moral dalam memimpin suatu umat dan kreativitas.
Dalam penulisan ini juga bertujuan agar kita menyadari kesukaran- kesukaran yang dihadapi dan perkembanganya tentang sejarah zaman Umayyah terutama di Andalusia( masa Dnast Umayyah II). Selain titu juga ditujukan agar kita mengetahuilebih mendalam yaitu tentang terbentuknya Dinasti Umayyah di Andalusia dengan jsistem pemerintahan dan perkembanganya, beberapa kemajuan peradaban yang di bangun hinggga berakhirnya pemerintahan Dinasti Umayyyah di Andalusia.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemerintahan Dinasti Umayah Di Andalusia
Sejak pertana kali menginjakkan kaki ditanah Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir disana, Islam memainkan peranan yang sangat yang dilalui umat Islam di Andalusia dapat dibagi menjadi enam periode:

1.         Periode Pertama (711 – 755 M)
Pada periode ini, Andalusia berada dibawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik Andalusia belum tercapai secara sempurna, gangguan–gangguan masih terjadi baik dari dalam maupu luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan diantara elit penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan, terutama antara Basbar asal Afrika Utara dan Arab. Didalam etnis arab sendiri, terdapat dua golongan yang terus menerus bersaing, yaitu suku Qaisy (Ara Utara) dan Arab Yamani (Arab Selatan). Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkna konflik politik, terutama ketika tidak ada figus penguasa yang tangguh. Itulah sebabnya di Andalusia pada saat itu, tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasannya dalam jangka eaktu yang agak lama.
Gangguan dari luar dari sisa-sisa musuh lama di Andalusia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Karena seringnya konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar,  maka dalam periode ini Andalusia belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini berakhir dengan datangnya Abd AL Rahman Al Dakhil pada tahun 138 H/755 M.
2.    Periode Kedua (755-912 M)
Pada periode ini, Andalusia berada di bawah pemerintahan amir, tetapi tumduk kepada pusat pemerintahan Islam yang ketika itu dipegang oleh khalifah abbasiyah di Baghdad. Penguasa Andalusia pada periode ini adalah Abd Al Rahman Al Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd Al Rahman Al Ausath, Muhammad bin Abd Al Rahman, Munzir bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad.
Mengenai Ad Dakhil, diceritakan sewaktu dinasti bani umayyah tumbang oleh dinasti abbasiyah terjadi pembunuhan massal dan pengejaran terhadap sisa-sisa keluarga Umayah. Ia melarikan diri menyusuri Afrika Utara hingga tiba di Meknes. Maroko dan pindah ke Melilla, dekat Ceuta di pesisir laut tangah menghadap semenanjung Liberia. Inilah buat pertama kalinya seorang pangeran Bani Umayyah masuk ke Andalusia, sehingga ia mendapat gelar Ad Dakhil. Setelah melumpuhkan penguasa Andalusia, Yusuf bin Abd Ar Rahman, ia akhirnya berkuasa disana.
Pada periode ini, Andalusia mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang perdaban. Abd Al Rahman Al Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah dikota-kota besar. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam dan Hukum dikenal sebagai pembaharu dalam bidang militer. Dialah yang memprakasai tentara bayaran di Andalusia. Sedang Abd Al Rahman Al Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu.
Pada periode ini, berbagai ancaman dan kerusakan terjadi. Pada pertengahan abad ke 9 M. Stabilitas munculnya gerakan Kristen fanatic yang mencari kesyahidan (Martydom). Tetapi gerakan ini tidak mendapat simpati dikalangan intern Kristen sendiri, karena pemerintahan Islam kala itu mengembangkan kebebasan beragama. Peribadatan tidak dihilangi, bahkan mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerinthan atau emnajdi karyawan pada intansi militer. Gangguan politik paling serius dating dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk Negara kota dan bertahan sampai 80 tahun. Disamping itu, sejumlah orang yang tidak puas terhadap penguasa melancarkan revolusi, yang terpenting diantaranya pemberontakan Hafshun dan anaknya yang berpusat dipegunungan dekat Malaga.


3.      Periode Ketiga (912-1013 M)
Pada periode ini, Andalusia diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah. Penggunaan gelar ini berawal dari berita bahwa al muktadir. Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Maka Abdurrahman III menilai bahwa keadaan ini menunjukkan suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan moment yang paling tepat untuk mmakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Maka dari itu, gelar khalifah ini mulai dipakai sejak tahun 929 M Khalifah besar yang memerintah pada periode ini yaitu Abd Al Rahman Al Nasir (912-916 M), Hakam II (961-976M) dan Hisyam II (976-1009M).
Pada periode ini, Andalusia mencapai puncak kemajuan dan kejayaan, menyaingi Baghdad di timur. Al Nashir mendirikan universitas di cordova yang perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga juga seoreang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
4.      Periode ke empat ( 1013 – 1086)
Pada periode ini Andalusia terpecah menjadi lebih 20 kerajaan kecil. Masa ini disebut Muluk al – Thawaif (Raja Golongan ) mereka mendirikan kerajaan berdasarkan etnis Barbar. Slovia ata u Andalus yang bertikai satu sama lain sehingga menimbulka keberania umat Kristen di utara untuk menyerang. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, para pihak yangbertikai sering meminta bantuan kepada raja – raja Kristen. Periode ini meskipun terjadi ketidakstabilan tetapi dalam bidang peradaban mengalami kemajuan karena masing – masing ibu kota kerajaan local ingin menyaingi Cordova sehingga muncullah kota –kota besar seperti Toledo, Sevilla, Malaga, dan Granada.



5.      Periode ke lima ( 1086 – 1248)
Pada periode ini meskipun Andalusia terpecah – pecah dalam beberapa Negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yakni dinasti Murabhitun (1086-1143) dan dinasti Muwahidun (1146-1235 M). murabhitun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf bin Tasytin di afrika utara. Ia masuk ke Andalusia atas undangan penguasa islam disana yang tengah menikul beban berat perjuangan mempertahankan negri dari serangan orang Kristen. Ia dan tentaranya masuk Andalusia pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan castilia. Karena perpecahan dikalangan raja- raja muslim, yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Andalusia dan berhasil. Tetapi sepenggantinya adalah raja – raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir baik di afrika utara maupun Andalusia sendiri.
Sepeninggal murabhitun, muncul-muncul dinasti kecil, tapi berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M, dinasti muwahidun di afrika utara yang didirikan oleh mehammad bin tumart. Dinasti ini datang ke Andalusia dibawah pimpinan abd al mun’im. Antara tahun 1114 dan 1115 M, kota-kota muslim penting di Andalusia seperti cordova. Almeria dan cannada jatuh di bawah kekuasaannya. Untuk jangka beberapa decade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan – kekuatan Kristen dapat dipukul mundur akan tetapi, tidak lama setelah itu Muwahhidun mengalami keambrukan. Tentara Kristen, pada tahun 1212 M, mendapat kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan – kekalahan yang dialami oleh Muwahhidun memaksa penguasanya keluar dari Andalusia dan kembali ke afrika utara pada tahun 1235 M. Tahun 1238 M cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh di tahun 1248 M. Seluruh Andalusia kecuali Granada lepas dari kekuasaan islam.
6.      Periode ke enam (1248 – 1492)
Pada periode ini, islam hanya berkuasa di daerah Granada. Di bawah dinasti bani ahmar (1232-1492 M) yang didrikan oleh Muhammad bin Yusuf bin Nasr bin al-Ahmar. Peradaban mengalami kemajuan tetapi hanya berkuasa di wilayah yang kecil seperti pada masa kekuasaan Abdurrahman an –Nashir. Namun pada decade terkhir abad 14 M, dinasti ini telah lemah akibat perebutan kekuasaan. Kesempatan ini dimanfaatkan olen kerajaan Kristen yang telah mempersatukan diri melalui pernikahan antar Esabella dan Aragon dengan raja Ferdinand dari Castilla untuk bersama – sama merebut kerajaan Granada. Pada tahun 1487 menguasai Almeria tahun 1492 menguasai Granada. Raja terakhir Granada, Abu Abdullah, melarikan diri ke afrika utara.
B.  Kebijakan Politik
a.    Cordova
Cordova adalah ibukota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian di ambil alih oleh Bani Umayah. Oleh penguasa muslim kota ini di bangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibukota spanyol islam itu. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari timur. Di seputar ibukota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancak istana Damsyik.
Diantara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah mesjid Cordova. Ciri-ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tidak dapat di minum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 KM.
b.      Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordava diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hamra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.[1]

C   Sistem Sosial dan Ekonomi
Al Andalus berarti “untuk menjadi hijau pada akhir musim panas” dan merujuk pada wilayah yang diduduki oleh kerajaan Muslim di Spanyol Selatan yang meliputi kota-kota seperti Almeria, Malaga, Zadiz, Huelva, Seville, Cordoba, Jaen dan Granada.
Andalusia terletak di benua Eropa barat daya dengan batas-batas ditimur dan tenggara adalah laut tengah, diselatan benmua Afrika yang terhlang oleh selat Gibraltar, dibarat samudra atlantik dan utara ole teluk Biscy. Pegunungan Pyneria ditimur laut membatasi Andalusia dengan Prancis. Andalusia adalah sebutan pada masa Islamm bagi daerah yang dikenal dengan senanjung Liberia (kurang lebih 93 % wilayah Spanyol, sisanya Portugal) dan Vadalusia. Sebutan ini berasal dari kata Vandalusia, yang berarti negeri bangsa vandal, karena bagian selatan semenanjung itu pernah dikuasai oleh bangsa Vandal sebelum mereka diusir ke Afrika Utara oleh Bangsa Goth pada abad ke 5 M.
Kondisi sosial masyarakat Andalusia menjelang penaklukan Islam sangat memperihatinkan. Masyarakat terpolarisasi ke dalam beberapa kelas sesuai dengan latar belakang sosialnya. Sehingga ada masyarakat kelas satu,dua dan tiga. Kelompok masyarakat kelas satu, yakni penguasa, terdiri atas raja, para pangeran, pembesar istana, pemuka agama dan tuan tanah besar. Kelas dua terdiri atas tuan-tuan anak kecil. Tuan tanah kecil adalah golongan rakyat kecil adalah golongan rakyta kelas dua (second citizen). Kelompok masyarakat kelas tiga terdiri atas pada budak termasuk budak tani yang nasibnya tergantung pada tanah, penggembala, nelayan, pandai besi, orang Yahudi dan kaum buruh dengan imbalan makan dua kali sehari. Mereka tidak dapat menikmati hasil tanah yang mereka grap. Rakyat kelas dua dan tiga yang sangat teritindas oleh kelas atas banyak lari ke hutan karena trauma dengan penindasan para penguasa. Demi mempertahankan hidup, mereka terpaksa harus mencari nafkah dengan jalan membunuh, merampas atau membajak. Dekadensi moral mereka itu bersamaan dengan jatuhnya ekonomi mereka.
Penaklukan oleh pasukan atas Andalusia memberi dampak positif yang luar biasa. Andalusia dijadikan tempat ideal dan pusat pengembangan budaya. Ketika peradaban Eropa tenggelam dalam kegelapan dan kehancuran, obor Islam menyinari seluruh Eropa melalui Andalusia, kepada bangsa Vandhal, Goth dan berber. Islam menegakkan keadilan yang belum dikenal sebelumnya. Rakyat jelata tertindas yang hidup dalam kegelapan mendapat sinar keadilan, memiliki kemerdekaan hidup dan menentukan nasibnya sendiri. Para budak pada bangsa Goth dimerdekakan oleh para penguasa Muslim dan diberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Sikap toleransi kaum muslim adalah perjanjian damai dengan pihak para penguasa yang telah ditaklukan. Kebebasan, persamaan dan persaudaraan yang diterapkan, memungkinkan bangsa-bangsa yang ditaklukkan itu ikut ambil abgian dalam pemerintahan bersama-sama dengan para penguasa Muslim. Jadi Islam tidak mengenal adanya perbedaan kasta dan keyakinan. Saat ditaklukan, tingkat peradaban Andalusia sangat rendah dan keadaan umumnya begitu menyedihkan, sehingga kaum Muslim lebih banyak mengajar dari pada belajar. Eropa sendiri di satu pihak diganggu oleh bangsa Berber Jerman. Sementara itu filsafat Yunani dan ilmu pengetahuan telah lama pindah tempat ke Syria dan Persia.
Penaklukan semenanjung ini diawali dengan pengiriman 500 orang tentara muslim dibawah pimpinan Tarif bin Malik pada Ramadhan tahun 91 H/710 M. Ia dan pasukannya mendarat disebuah tempat yang diberi nama Tarifa. Ekspedisi ini berhasil dan tariff kembali ke Afrika Utara membawa banyak ghanimah. Musa bin Nushair, Gubernur Jenderal Al Maghrib di Afrika Utara kala itu, kemudian mengirimkan 7000 orang tentara dibawah pimpinan Thariq bin Ziyad. Ekpsedisi kedua ini mendarat dibukit karang Gibraltar (Jabal At Thariq ) pada tahun 92 H/711 . Diatas bukit itu, Thariq berpidato untuk membangkitkan semngat juang pasukannya, karena tentara musuh yang akan dihadapi jumlahnya 100.000 orang. Thariq mendapat tambahan 5000 orang tentara dari Afrika Utara sehingga total jumlah pasukannya menjadi 12.000 orang.
Pertempuran pecah didekat muara sungai Salado (Lagend Janda) pada bulan Ramadhan 92 H/19 Juli 711. Pertempuran ini mengawali kemenangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran berikutnya, sampai akhirnya Toledo, ibukota Gothia Barat, dapat direbut pada bulan September tahun itu juga. Bulan Juni 712 M. Musa berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan menyerang kota-kota yang belum ditaklukkan oleh Thariq sampai bulan Juni tahun berikutnya. Di kota kecil Talavera, Thariq menyerahkan kepemimpinan pada Musa. Pada saat itu pula Musa mengumumkan Andalusia menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Penaklukan selanjutnya diarahkan ke kota-kota bagian utara hingga mencapai kaki pengunungan Pyrenia. Di balik pegunungan itu terbentang tanah Galia dibawah kekuasaan bangsa Prancis. Musa berambisi menaklukkan wilayah dibalik pegunungan itu, namun khalifah al walid tidak merestuinya bahkan ia memanggil Musa dan Thariq untuk pulang ke Damaskus. Sebelum berangkat Musa menyerahkan kekuasaan kepada Abd Al Aziz bin Musa. Abd Aziz berhasil menaklukkan Andalusia sudah jatuh ke tangan umat Islam, kecuali Galicia sebuah kawasan yang terjal dan tandus di bagian barat laut semenanjung itu.
Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Umayyah sampai tahun 132 H/ 750 M. Selama periode tersebut, para gubernur Umawiyah di Andalusia berusaha mewujudkan impian Musa bin Nushair untuk menguasai Galia. Akan tetapi, dalam pertempuran Poitiers didekat Tours pada tahun 114 H / 732 M tentara Islam dibawah pimpinan Abd Al – Rahman Al – Ghafiq di pukul mundur oleh tentara Nasrani Eropa dibawah pimpinan Kartel Martel. Itulah titik akhir dari serentetan sukses umat Islam diutara pegunungan Pyneria. Setelah itu mereka tidak pernah meraih kemenangan yang berarti dalam menghadapi serangan balik kaum Nasrani Eropa. Ketika daulah Bani Umayyah runtuh pada tahun 132 H / 750 M. Andalusia menjadi salah satu propinsi dari daulah Bani Abbas sampai Abd Al Rahman bin Muawiyah, cucu khalifah Umayah kesepuluh hisyam bin Abd Malik, memproklamasikan propinsi itu sebagai Negara yang berdiri sendiri pada tahun 138 H/756 M. Sejak proklamasi itu. Andalusia memasuki babak baru sebgai sebuah Negara berdaulat dibawah kekuasaan Bani Umayyah II yang beribukota di Codova sampai tahun 422 H/1031.[2]

B.     Perkembangan Peradaban
Kemajuan perkembangan  islam pada masa Dinasti Umayyah II   ini terjadi pada masa pemerintahan Abdurahman III dan Hakam II, yaitu pada  tahun 350-   366 H / 961- 976 M. Perkembangan pada masa kejayaan Daulah Umayyah ini yang termasyhur adalah perkembangan kota dan seni bangunan, perkemangan bahasa dan sastra arab dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dimana dasar pemikiran hikumnya adalah hadits. Mahzab ini diperkenalkan pertama kali ole Ziad  ibn Abd al- Rahmanibn Ziyad al- lahmi. Tokoh lainya antara lain ibn Hazm.Semula  ibn Hazm menganut mahzab Sya fi’I, tetapi kemudin beralih menjadi  pengikut imam  Daud al- Dhahiri. Ia telah berperan mngembangkan  2 mahzab ini di Andalusia.[3]
Andalusia pada saat itu sudah mencapai  tingkat peradaban yang sangat maju, sehingga penduduknya terhindar dari buta huruf. Kemajuan ini didukung karena para khalifahnya yang cinta akan ilmu pengetahuan.
Telah di sebut bahwa arus ekspansi islam di mulai setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (632 M) dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah umayah (sebut Umayah) VI, Al-Walid, di mana peta islam meluas ke barat sampai semenanjung Liberia dan di kaki gunung Pyrenia (Pyreenes), prancis termasuk Afrika Utara, fi utara meliputi Asia Kecil dan Armenia dengan rute-rute pantai laut kaspia menyebrangi sungai Oxus, Asia tengah bagian Rusia yang di kuasai setelah penaklukan Azerbeijan, sebagian Georgia, seberang sungai jihun, dan ke timur sampai india dan perbatasan China. Dalam waktu yang relative singkat di bawah kepemimpinan gubernur jendral Al-Maghrib, Musa bin Nushair, dengan panglima perang gubernur Tangier, Thariq bin Ziyad, seorang mu’allaf, masih remaja dari Lowata, Anak suku barbar, yang berhasil menaklukkan Andalusia.[4]
Dengan demikian dapat di katakan bahwa peradaban islam sudah bersifat internasional, meliputi tiga benua: sebagian Eropa, sebagian Afrika, sebagian besar Asia. Penduduknya meliputi puluhan bangsa, menganut bermacam-macam bahasa. Semua itu di satukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu dan agama islam menjadi agama resmi Negara.[5]
Perkembangan peradaban islam di Andalusia di antaranya
-          Bidang Politik
-          Bidang Sosial
-          Bidang Sastra
-          Bidang Ekonomi
-          Bidang Ilmu pengetahuan
-          Bidang Kota dan Arsitektur





C.    Kemunduran dan Keruntuhan Dinasti Umayah Di Andalusia
a.       Faktor Internal
1.        Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat- tempat lain para muallaf diperlukan sebagai seorang islam yang sederajat, di spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan oleh Bani Umayyah di Damaskus , orang-orang  Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad kesepuluh masehi, mereka masih memberi istilah’ Ibad dan muwaladdin kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.

2.      Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini penyebabkan perebutan kekuasaan diantara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayah runtuh dan Muluk al-Thawa’if muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.
3.      Kesulitan Ekonomi
Diparuh kedua masa Islam di Spanyol, para pengusa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuandengan sangat “serius”, sehingga lalai mebina perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.[6]
b.      Faktor  Eksternal
1.      Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim tidak melakukan islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan – kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisonal, asal tidak ada perlawanan bersenjata. Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan negara islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen.
Selain itu, ada gerakan Renaissance di Eropa yang  membangkitkan semangat orang-orang Barat untuk merebut kembali kejayaannya. Orang-orang Kristen Eropa mengadakan konsolidasi politik untuk menyusun kekuatan mengusir umat islam.[7]



















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Andalusia adalah sebutan bagi semenanjung Liberia periode Islam.Bani Umayyah merebut semenanjung ini pada masa khalifah Al Walid bin Malik dengan mengirim 500 pasukan yang dipimpin oleh Tarif bin Malik pada tahun 91 H / 710 M. Pada tahun 92 H / 711M Musa ibn Musair mengirim 7000 tentara yang dipimpin Harim bin Ziyad dan mendarat di Jabal Thariq (Gibaltar) dan pada penaklukan Andalusia menjadi propinsi dinasti Umayyah Musa membawa kembali 18.000 tentara yaitu pada tahun 93 H/ 712M.
 Wilayah yang dikuasai antara lain Cordova, Sevilla, Ceuta, Toledo, Magda dan Elvira. Masyarakatnya terdiri dari orang arab islam, islam non- arab, Barbar, Yahudi Slavia dan Spanyol. Kemajuan yang dicapai pada masa itu terjadi pada masa pemerintahan Abdurahman III dan Hakam II. Pada masa ini melakukan pembanguna danau untuk irigasi dan air minum, membangun kota cordova, Masjid Jami’ Cordova yang diubah menjadi Gereja Santa Maria.
Bahasa Arab sudah menjadi bahaa resmi di Andalusia, ilmu pengetahuan mengalami kemajuan pesat dan mendirikan pula perpustakaa- perpustakaan disamping mumbangun lembaga pendidikan. Mahzab yang berkembang pada masa ini adalah mahzab maliki.
Sebab- sebab kemunduran Dinasti ini adanya perebutan kekuasaan akibat militer yang kuat, terjadi kudeta sebanyak 14 kali dan disintegrasi sosial terutama dari kelompk Barbar dan Slavia.

2.      Kritik dan Saran
Semoga dengan adanya makalah ini para pembaca dan kami selaku pemateri, mendapatkan manfaatnya. Dan apabila terdapat kekhilafan dan kekurangan dalam penulisan atau penyajian makalah ini kami senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini lebih bermanfaat di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Sirojuddin AR, H.D., 1997.  Perkembangan Islam di Eropa dan Pengaruhnya Bagi Kemajuan Barat. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam dan Univeritas Terbuka.
Wahid, N Abbas dan Suratno., 2009. Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XII. Solo: Tiga Serangkai
Sunanto,  Musyrifah.,  2007. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana
M. Abdul Karim, M Abdul., 2009. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Rofiq, Choirul., 2006. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta : STAIN Ponorogo
http://blog.uin-malang.ac.id/san3la/2012/07/05/sejarah-peradaban-islam-pada-masa-bani-umayyah-ii-di-andalusia


[1] Drs. Badri Yatim dan H.D. Sirojuddin AR, Sejarah Kebudayaan Islam I. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Dan Universitas Terbuka. 1997, hal. 418
[2]http://blog.uin-malang.ac.id/san3la/2012/07/05/sejarah-peradaban-islam-pada-masa-bani-umayyah-ii-di-andalusia
[3] Choirul Rofiq. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta : STAIN Ponorogo Press hal 185
[4] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 227.
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 45.
[6] Drs. Badri Yatim dan H.D. Sirojuddin AR. Sejarah Kebudayaan Islam I. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas terbuka, 1997. Hal, 402
[7] N Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XII. Solo: Tiga Serangkai.2009, hal. 60